RSS

Sabtu, 16 Desember 2017

Puisi dan Mendaki Gunung


PUISI DAN MENDAKI GUNUNG


 Ditulis Oleh : Noval Rizqi



         Musim penghujan sudah tiba, sudah saatnya kita mengganti rencana mendaki gunung untuk beberapa bulan kedepan dengan latihan fisik atau sekedar merawat alat alat tempur pendakian, agar ketika musim panas tiba alat alat sudah ready untuk diajak berpetualang kembali. Bicara soal bulan desember tidak lepas dari kata hujan, tidak lepas pula dengan segala hal yang sendu dan romantis, terkadang kita merindukan saat saat berada di hutan rimba, rindu tentang hujan yang tiba tiba, membaca buku atau menyantap semangkuk mie instan serta secangkir kopi panas.

Bulan desember juga mengingatkan kita tentang 2 pendaki MAPALA UI yang meninggal  ditanah tertinggi pulau jawa. Ya, Soe Hok Gie dan Idhan Lubis lah orangnya, gunung semeru merenggut nyawa mereka berdua pada 16 desember 1969 tepatnya sehari sebelum ulang tahun Gie. Mereka dikabarkan menghirup gas beracun yang keluar dari kawah Jonggring Saloko di puncak Mahameru.

Soe Hok Gie dikenal sebagai pendaki dan penulis, beberapa puisinya lahir dari pengalamannya selama mendaki gunung. Romantisme yang alam berikan kepada setiap pendaki melahirkan kata kata ajaib yang dilampiaskan lewat tulisan tulisan salah satunya berbentuk puisi. Asumsi saya adalah mungkin adanya hubungan emosional yang kuat antara puisi dan kegiatan alam bebas, sebab banyak puisi puisi yang lahir dari para pendaki dan pegiat alam. Berikut saya lampirkan beberapa puisi puisi tersebut :




“Mandalawangi-Pangrango”

Senja ini, ketika matahari turun
Ke dalam jurang-jurangmu
Aku datang kembali
Ke dalam ribaanmu, dalam sepimu
Dan dalam dinginmu
Walaupun setiap orang berbicara tentang manfaat dan guna
Aku bicara padamu tentang cinta dan keindahan
Dan aku terima kau dalam keberadaanmu
Seperti kau terima daku
Aku cinta padamu, Pangrango yang dingin dan sepi
Sungaimu adalah nyanyian keabadian tentang tiada
Hutanmu adalah misteri segala
Cintamu dan cintaku adalah kebisuan semesta
Malam itu ketika dingin dan kebisuan
Menyelimuti Mandalawangi
Kau datang kembali
Dan bicara padaku tentang kehampaan semua
“hidup adalah soal keberanian,
Menghadapi yang tanda tanya
Tanpa kita bisa mengerti, tanpa kita bisa menawar
Terimalah, dan hadapilah”
Dan antara ransel-ransel kosong
Dan api unggun yang membara
Aku terima itu semua
Melampaui batas-batas hutanmu
Aku cinta padamu Pangrango
Karena aku cinta pada keberanian hidup

- Djakarta 19-7-1966 -
Soe Hok Gie



“Sebuah Tanya”

“akhirnya semua akan tiba
pada suatu hari yang biasa
pada suatu ketika yang telah lama kita ketahui
apakah kau masih berbicara selembut dahulu?
memintaku minum susu dan tidur yang lelap?
sambil membenarkan letak leher kemejaku”
(kabut tipis pun turun pelan-pelan di lembah kasih, lembah mendala wangi
kau dan aku tegak berdiri, melihat hutan-hutan yang menjadi suram
meresapi belaian angin yang menjadi dingin)
“apakah kau masih membelaiku semesra dahulu
ketika ku dekap kau, dekaplah lebih mesra, lebih dekat”
(lampu-lampu berkelipan di jakarta yang sepi, kota kita berdua, yang tua dan terlena dalam mimpinya. kau dan aku berbicara. tanpa kata, tanpa suara ketika malam yang basah menyelimuti jakarta kita)
“apakah kau masih akan berkata, kudengar derap jantungmu. kita begitu berbeda dalam semua
kecuali dalam cinta?”
(haripun menjadi malam, kulihat semuanya menjadi muram. wajah2 yang tidak kita kenal berbicara dalam bahasa yang tidak kita mengerti. seperti kabut pagi itu)
“manisku, aku akan jalan terus
membawa kenangan-kenangan dan harapan-harapan
bersama hidup yang begitu biru”

Selasa, 1 April 1969




“Djika Kita Berpisah”

Di sini kita bertemu, satu irama
di antara wadjah2 perkasa…
tergores duka dan nestapa,
tiada putus asa
tudjuan esa puntjak mendjulang di sana
Bersama djatuh dan bangun
di bawah langit biru pusaka…
antara dua samudra…
Bersama harapanku djuga kau
satu nafas
kita jang terhempas
pengabdian… dan… kebebasan…
Bila kita berpisah
Kemana kau aku tak tahu sahabat
Atau turuti kelok2 djalan
Atau tinggalkan kota penuh merah flamboyan
Hanja bila kau lupa
Ingat…
Pernah aku dan kau…
Sama-sama daki gunung-gunung tinggi
Hampir kaki kita patah-patah
Dan nafas kita putus-putus
Tudjuan esa, tudjuan satu:
Pengabdian dan pengabdian kepada…
…Jang Maha Esa…

Dari: Idhan Lubis (MK-058-UI)
Polonia, 8 Desember 1969




“Kembara”

senyum yang rapuh dirambati kekosongan
waktu bergaung ke lembah diri
hijau-hijau pohon berjulangan

lewat pendakian tak putus-putus
napas bergelut dalam langkah

dibarat merah warna langit
jarak tercakup dalam mimpi

Rita Oetoro - 1959





Itulah beberapa puisi yang dapat saya lampirkan, rata rata puisi diatas terlihat jelas ada pengaruh kegiatan alam bebas yang mengilhami si penulis. Sebenarnya masih banyak puisi yang ingin saya unggah dalam tulisan ini, namun saya sudah terlanjur mengantuk dan saya menulis artikel ini pada tengah malam, tanpa kopi dan mie instan tentunya. Tetap semangat dalam berkegiatan di alam bebas dan mari berpuisi !



Salam.

Catatan Kecil Dari Gili




Catatan Kecil Dari Gili



pada akhirnya
senjamu yang begitu singkat
pamit dari seluruh ombak
dan tiang tiang kapal yang terikat

sepanjang jalan terpampang
harga harga botol bir
harum tubuh gadis gadis pirang
serta tenderloin, sirloin atau
apapun yang di pesan setengah matang

pada malamnya
yang tersisa cuma omong kosong
pembual pembual dari jakarta
bercerita kelakar tentang
kehidupan yang terlihat nyata

paginya mereka saling bertanya
satu sama lain, yang terjadi
semalam apakah diri kita
atau alkohol alkohol
yang membuat kita jadi durjana



Noval, Sep 2017