PUISI DAN MENDAKI GUNUNG
Musim
penghujan sudah tiba, sudah saatnya kita mengganti rencana mendaki gunung untuk beberapa bulan
kedepan dengan latihan fisik atau sekedar merawat alat alat tempur pendakian,
agar ketika musim panas tiba alat alat sudah ready untuk diajak berpetualang
kembali. Bicara soal bulan desember tidak lepas dari kata hujan, tidak lepas
pula dengan segala hal yang sendu dan romantis, terkadang kita merindukan saat
saat berada di hutan rimba, rindu tentang hujan yang tiba tiba, membaca buku
atau menyantap semangkuk mie instan serta secangkir kopi panas.
Bulan desember juga mengingatkan kita tentang 2 pendaki
MAPALA UI yang meninggal ditanah
tertinggi pulau jawa. Ya, Soe Hok Gie dan Idhan Lubis lah orangnya, gunung
semeru merenggut nyawa mereka berdua pada 16 desember 1969 tepatnya sehari
sebelum ulang tahun Gie. Mereka dikabarkan menghirup gas beracun yang keluar
dari kawah Jonggring Saloko di puncak Mahameru.
Soe Hok Gie dikenal sebagai pendaki dan penulis, beberapa puisinya lahir dari
pengalamannya selama mendaki gunung. Romantisme yang alam berikan kepada setiap
pendaki melahirkan kata kata ajaib yang dilampiaskan lewat tulisan tulisan salah
satunya berbentuk puisi. Asumsi saya adalah mungkin adanya hubungan emosional
yang kuat antara puisi dan kegiatan alam bebas, sebab banyak puisi puisi yang
lahir dari para pendaki dan pegiat alam. Berikut saya lampirkan beberapa puisi
puisi tersebut :
“Mandalawangi-Pangrango”
Senja ini, ketika
matahari turun
Ke dalam jurang-jurangmu
Ke dalam jurang-jurangmu
Aku datang kembali
Ke dalam ribaanmu, dalam sepimu
Dan dalam dinginmu
Ke dalam ribaanmu, dalam sepimu
Dan dalam dinginmu
Walaupun setiap orang
berbicara tentang manfaat dan guna
Aku bicara padamu tentang cinta dan keindahan
Dan aku terima kau dalam keberadaanmu
Seperti kau terima daku
Aku bicara padamu tentang cinta dan keindahan
Dan aku terima kau dalam keberadaanmu
Seperti kau terima daku
Aku cinta padamu,
Pangrango yang dingin dan sepi
Sungaimu adalah nyanyian keabadian tentang tiada
Hutanmu adalah misteri segala
Cintamu dan cintaku adalah kebisuan semesta
Sungaimu adalah nyanyian keabadian tentang tiada
Hutanmu adalah misteri segala
Cintamu dan cintaku adalah kebisuan semesta
Malam itu ketika
dingin dan kebisuan
Menyelimuti Mandalawangi
Kau datang kembali
Dan bicara padaku tentang kehampaan semua
Menyelimuti Mandalawangi
Kau datang kembali
Dan bicara padaku tentang kehampaan semua
“hidup adalah soal
keberanian,
Menghadapi yang tanda tanya
Tanpa kita bisa mengerti, tanpa kita bisa menawar
Terimalah, dan hadapilah”
Menghadapi yang tanda tanya
Tanpa kita bisa mengerti, tanpa kita bisa menawar
Terimalah, dan hadapilah”
Dan antara
ransel-ransel kosong
Dan api unggun yang membara
Aku terima itu semua
Melampaui batas-batas hutanmu
Dan api unggun yang membara
Aku terima itu semua
Melampaui batas-batas hutanmu
Aku cinta padamu
Pangrango
Karena aku cinta pada keberanian hidup
Karena aku cinta pada keberanian hidup
- Djakarta 19-7-1966 -
Soe Hok Gie
“Sebuah Tanya”
“akhirnya semua
akan tiba
pada suatu hari
yang biasa
pada suatu ketika
yang telah lama kita ketahui
apakah kau masih
berbicara selembut dahulu?
memintaku minum
susu dan tidur yang lelap?
sambil membenarkan
letak leher kemejaku”
(kabut tipis pun
turun pelan-pelan di lembah kasih, lembah mendala wangi
kau dan aku tegak
berdiri, melihat hutan-hutan yang menjadi suram
meresapi belaian
angin yang menjadi dingin)
“apakah kau masih
membelaiku semesra dahulu
ketika ku dekap kau,
dekaplah lebih mesra, lebih dekat”
(lampu-lampu
berkelipan di jakarta yang sepi, kota kita berdua, yang tua dan terlena dalam
mimpinya. kau dan aku berbicara. tanpa kata, tanpa suara ketika malam yang
basah menyelimuti jakarta kita)
“apakah kau masih
akan berkata, kudengar derap jantungmu. kita begitu berbeda dalam semua
kecuali dalam cinta?”
(haripun menjadi
malam, kulihat semuanya menjadi muram. wajah2 yang tidak kita kenal berbicara
dalam bahasa yang tidak kita mengerti. seperti kabut pagi itu)
“manisku, aku akan
jalan terus
membawa
kenangan-kenangan dan harapan-harapan
bersama hidup yang
begitu biru”
Selasa, 1 April 1969
“Djika Kita Berpisah”
Di sini kita bertemu, satu irama
di antara wadjah2 perkasa…
tergores duka dan nestapa,
tiada putus asa
tudjuan esa puntjak mendjulang di sana
di antara wadjah2 perkasa…
tergores duka dan nestapa,
tiada putus asa
tudjuan esa puntjak mendjulang di sana
Bersama djatuh dan bangun
di bawah langit biru pusaka…
antara dua samudra…
Bersama harapanku djuga kau
satu nafas
kita jang terhempas
pengabdian… dan… kebebasan…
di bawah langit biru pusaka…
antara dua samudra…
Bersama harapanku djuga kau
satu nafas
kita jang terhempas
pengabdian… dan… kebebasan…
Bila kita berpisah
Kemana kau aku tak tahu sahabat
Atau turuti kelok2 djalan
Atau tinggalkan kota penuh merah flamboyan
Hanja bila kau lupa
Ingat…
Kemana kau aku tak tahu sahabat
Atau turuti kelok2 djalan
Atau tinggalkan kota penuh merah flamboyan
Hanja bila kau lupa
Ingat…
Pernah aku dan kau…
Sama-sama daki gunung-gunung tinggi
Hampir kaki kita patah-patah
Dan nafas kita putus-putus
Tudjuan esa, tudjuan satu:
Pengabdian dan pengabdian kepada…
…Jang Maha Esa…
Sama-sama daki gunung-gunung tinggi
Hampir kaki kita patah-patah
Dan nafas kita putus-putus
Tudjuan esa, tudjuan satu:
Pengabdian dan pengabdian kepada…
…Jang Maha Esa…
Dari: Idhan Lubis (MK-058-UI)
Polonia, 8 Desember 1969
Polonia, 8 Desember 1969
“Kembara”
senyum yang rapuh dirambati kekosongan
waktu bergaung ke lembah diri
hijau-hijau pohon berjulangan
lewat pendakian tak putus-putus
napas bergelut dalam langkah
dibarat merah warna langit
jarak tercakup dalam mimpi
Rita Oetoro
- 1959
Itulah beberapa puisi yang dapat saya lampirkan, rata
rata puisi diatas terlihat jelas ada pengaruh kegiatan alam bebas yang mengilhami
si penulis. Sebenarnya masih banyak puisi yang ingin saya unggah dalam tulisan
ini, namun saya sudah terlanjur mengantuk dan saya menulis artikel ini pada
tengah malam, tanpa kopi dan mie instan tentunya. Tetap semangat dalam
berkegiatan di alam bebas dan mari berpuisi !
Salam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar